Berita Terkini

Selasa, 07 Februari 2012

KULTUR HAPLOID

KULTUR  HAPLOID
Suwanto

A.    Pendahuluan
Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. 
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga  tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.  Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon.  Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain.  Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan.  Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.  Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Kultur jaringan (tissue culture) sampai saat ini digunakan sebagai suatu istilah umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus cahaya. Sering kali kultur aseptik disebut juga kultur in vitro yang artinya sebenarnya adalah kultur di dalam gelas.
 Dalam pelaksanaannya dijumpai beberapa tipe-tipe kultur, yakni:
1. Kultur biji (seed culture), kultur yang bahan tanamnya menggunakan biji atau seedling.
2. Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya menggunakan organ, seperti: ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian daun, bunga, buah muda, inflorescentia, buku batang, akar dll.
3. Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang menggunakan jaringan (sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai bahan eksplannya.
4. Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang menggunakan media cair dengan pengocokan yang terus menerus menggunakan shaker dan menggunakan sel atau agregat sel sebagai bahan eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa kalus atau jaringan meristem.
5. Kultur protoplasma. eksplan yang digunakan adalah sel yang telah dilepas bagian dinding selnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas diletakkan pada media padat dibiarkan agar membelah diri dan membentuk dinding selnya kembali. Kultur protoplas biasanya untuk keperluan hibridisasi somatik atau fusi sel soma (fusi 2 protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik).
6. Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni: kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid.

B.     Kultur Haploid pada Tumbuhan
Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni: kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid.
Pada pemuliaan konvensional, 2 galur tetua disilangkan untuk memperoleh tanaman hibrida F1. Dua set kromosom pada tanaman F1 bersegregasi acak pada generasi – generasi selanjutnya, untuk berbagai sifat agronomis. Pemulia tanaman harus menyeleksi gallur yang diinginkan dan menanamnya untuk sedikitnya 8 – 10 generasi, dengan seleksi yang kontinyu, sampai 2 set kromosom pada galur yang disilangkan menjadi identik (homozygous).
Tanaman haploid adalah tanaman yang mempunyai jumlah kromosom sama dengan gametofitik dalam sporofitik (Bajaj, 1983). Frekuensi terjadinya haploid spontan di alam masih sangat rendah , yakni sekitar 0,001-0,01%. Produksi haploid yang spontan biasanya terjadi melalui proses partenokarpi dari telur yang tidak dibuahi atau apomiksis.
Dalam percobaan-percobaan terdahulu (sebelum tahun), haploid diperoleh melalui:
1. Hibridisasi jenis tanaman yang berada (distant hybridization).
2. Polinasi tertunda (delayed pollination).
3. Penggunaan polen yang sudah di-radiasi.
4. Perlakuan hormon.
5. Shock dengan temperatur tinggi.
Revolusi dalam produksi tanaman haploid terjadi pada tahun 1064-1966, semenjak dihasilkannya tanaman haploid dari Datura innoxia oleh Guha dan Maheswari. Tanaman dihasilkan melalui kultur anther dengan proses androgenesis. Haploid pada tanaman dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu:
1. Monoploid : jumlah khromosom setengah dari kromosom spesies yang diploid.
2. Polihaploid: jumlah kromosom setengah dari kromosom spesies yang poliploid.

Kegunaan haploid dalam pemuliaan tanaman:
1. Tanaman haploid dapat digunakan untuk mandeteksi mutasi dan rekombian yang unik.
Mutasi yang resesif tidak muncul dalam keadaan diploid. Contohnya pollen dari hibrida antara MC-160 dan Coker-139 yang ditumbuhkan dihasilkan lini-lini tanaman baru yang menunjukkan resistensi terhadap penyakit layu bakteri dan Black Shank yang lebih tinggi. Lini baru ini tidak kehilangan sifat unggul MC-1610 (Gunawan, 1988).

2. Penggandaan jumlah kromosom akan diperoleh tanaman homozigot.
Tanaman homozigot sangat penting untuk menghasilkan hibrida terkendali, seperti tanaman Asparagus. Tanaman Asparagus officinale merupakan tanaman dioeceous yang menghasilkan bungan betinan dan bunga jantan pada tanaman yang berlainan. Tnaman jantan lebih disukai konsumen karena produksi eebungnya lebih tinggi dan kualitasnya lebih baik. Usaha penyilangan ditujukan untuk menghasilkan biji yang menjadi tanaman jantan (XY). Hibrida XY diperoleh dengan menyilangkan tanaman jantan XY dengan betina XX dengan hasil XY: 50%. Melalui kultur anther, diperoleh tanaman XY, yang disebut super male. Penyilangan super male YY dengan betina XX, akan menghasilkan progeni yang 100%.

C.     Produksi Kultur Haploid pada in vitro
Teknik mendapatkan tanaman haploid secara in vitro
1. Kutur anther
Keberhasilan kultur anther telah diujudkan pada tanaman seperti Datura innoxia, nicotiana tabacum, karet, poplar, anggur, tanaman Gramineae serta pada tanaman angrek. Teknik kultur anther relatif sederhana dan efisien yang paling penting adalah kritis dalam penentuan tingkat perkembangan pollen (androgenesis) yang tepat pada anther yang akan dijadikan eksplan.
Secara praktis tingkat perkembangan pollen dapat ditentukan berdasarkan pengambilan contoh beberapa tingkat perkembangan kuncup bunga. Tingkat perkembangan androgenesis pollen uninucleat paling sesuai bila digunakan sebagai eksplan.
Media dasar yang digunakan untuk tanaman dikotil, umumnya adalah media MS, media White dan media Nitsch &Nitsch, dengan berbagai modifikasi dengan penambahan sukrosa sekitar 20-40 gram/liter. Zat Pengatur Tumbuh diberikan dalam konsentrasi serendah mungkin untuk menghindari terbentuknya kalus dari jaringan-jaringan diploid yang tidak diinginkan. Untuk mendapatkan double haploid dipergunakan larutan colchicine: 0,5% dengan waktu perendaman 24-28 jam.
Tanaman monokotil terutama tanaman Gramineae seperti padi, media MS juga dapat digunakan. Tetapi selain MS, dikembangkan juga beberapa media lain misalnya media N6. Media N6 mempunyai ciri perbandingan NH4+ dan NO3_ yang jauh perbedaannya. Ammonium yang diberikan dalam bentuk (NH4)2SO4 hanya sebanyak 363 mg/l, sedangkan KNO3 : 2830 mg/l. Khusus untuk padi, ada beberapa media lain yang dikembangkan di Cina, sesuai dengan kultivar padinya, misalnya media SK3, He5 dan LB.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi haploid melaui kultur in vitro adalah:
1. Tingkat Perkembangan
Pollen pada tanaman padi, frekuensi pembentukan kalus yang tertinggi diperoleh pada kultur anther dengan pollen yang nukleusnya terletak di pinggir sel (mid-uninucleate microspore stage). Pembentukan terbentuknya kalus pada berbagai stage adalah sebagai berikut:
 5.6% kultur membentuk kalus pada early-uninucleate stage, yaitu sesudah tetrad terbentuk.
 35,7% kultur membentuk kalus pada mid-uninucleate stage.
 10.5% pada saat late-uninucleate stage.
 6.7% pada saat mitosis pertama dari pollen.
 0% pada saat polen mencapai bi-nucleat stage.

2. Perlakuan fisik sebelum inokulasi
Perlakuan temperatur rendah sebelum inokulasi, meningkatkan keberhasilan kultur anther dalam: Nicotiana tabacum, Datura innoxia, Hyosciamus niger, Hordeum vulgare dan Oryza sativa. Pada umumnya, temperatur antara 3-10oC. Bila dipergunakan temperatur rendah 3-5oC, maka waktu perlakuan dapat dipersingkat, sedangkan pada terperatur rendah 10-15 oC, waktu perlakuan lebih panjang. Percobaan Wang dan grupnya (Chen, 1986) dalam kultur padi hsien menunjukkan:
 Bila temperatur 3-5 oC, dibutuhkan 10 hari.
 Bila temperatur 6-8 oC, dibutuhkan 15 hari.
 Bila temperatur 9-10 oC, dibutuhkan 20 hari.

3. Perlakuan kimia sebelum inokulasi
Anther yang dikultur dalam media cair yang ditambah dengan 50-250 mg/l colchisine selama 4 hari, meningkatkan frekuensi pembentukkan kalus dan diferensiasi. Colchicine dapat meningkatkan tanaman double haploid hingga 79%, sedangkan anher tanpa perlakuan pendahuluan, hanya menghasilkan 53,8% tanaman. Jika konsentrasi colchicine ditingkatkan hingga 500 mg/l akan mengakibatkan frekuesi tanaman anakan yang abnormal seperti albino akan meningkat. Selain senyawa tersebut senyawa ethrel juga sering digunakan untuk praperlakuan pada media cair + 5 g/l ethrel (Gunawan, 1988).

4. Media tumbuh
Komposisi media dasar tidak begitu kritis, namun dalam kultur anther, NH4+ yang tinggi (35mM) akan menghambat pembentukan kalus.
 Sukrosa yang diberikan, berkisar 2-12%. Pada serealia digunakan 6-9%, sedangkan pada tanaman diploid 2-4%.
 Zat Pengatur Tumbuh pada kultur anther Solanaceae tidak diperlukan cukup media dasar N6. ZPT yang biasa digunakan untuk memacu pertumbuhan embriogenesis pada kultur anther adalah senyawa TIBA (Tri iodobenzoic acid). Disamping itu penambahan 2 mg/l 2,4D pada media dasar digunakan untuk kultur anther padi, dan kombinasi ZPT: 4 mg/l NAA + 1 mg/l 2,4D dan 1-3 mg/l kinetin sering ditambahkan pada media dasar untuk kultur anther.
 Penambahan bahan-bahan organik seperti: ekstrak pisang, air kelapa, ensdosperm serealia, ekstrak ragi, alanin, folic acid dan Co-enzym A, dapat memacu pertumbuhan pada kultur anther.
 Penambahan 2% arangaktif dapat memperbaiki androgenesis.


5. Genotipe tanaman donor
Tidak semua kultuvar dari setiap tanaman organ anthernya dapat menghasilkan tanaman haploid, seperti kultivar dari Lycopersicon esculentum dari 43 kultivar hanya 3 kultivar saja yang anthernya dapat ditumbuhkan. Triticum aestivum hanya 10 kukltivar saja yang anthernya dapat ditumbuhkan menjadi tanaman haploid dari 21 kultivar yang ada.

6. Kondisi Tanaman Donor
Umur fisiologi tananam donor ternyata dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman enther. Bunga dari tanaman muda pada saat permulaan pembungaan, ternyata lebih baik dari pada bunga yang keluar kemudian.
 Kondisi nutrisi tanaman donor: tembakau yang diberikan perlakuan larutan Hoagland selama 2 minggu, mempunyai bunga dengan vigor yang lebih baik.
Temperatur waktu menumbuhkan tanaman donor. Contohnya pada tanaman Datura, tanaman donor yang ditumbuhkan pada suhu 24oC frekuensi terjadinya androgenesis sebesar 45% dan bila tanaman donor ditumbuhkan pada temperatur 17 oC, frekuensi tumbuhnya turun menjadi 8%.
Cahaya selama pertumbuhan tanaman donor. Triticum aestivum yang ditumbuhkan di lapangan dengan cahaya yang penuh, menghasilkan kultur anther yang lebih baik dari tanaman yang ditumbuhkan di rumah kaca pada musim dingin dengan penyinaran yang kurang.
Tanaman yang dihasilkan melalui kultur antera dapat berupa tanaman haploid, haploid ganda spontan, poliploid, mixopoid, dan aneuploid. Perbedaan morfologi tanaman haploid, haploid ganda (spontaneous doubled haploid), poliploid, mixopoid dan aneuploid menurut Zhang (1992) adalah sebagai berikut:
1. Tanaman haploid. Dibandingkan dengan tanaman diploid, pada umumnya tanaman haploid lebih kecil dan mempunyai banyak anakan serta tidakmempunyai ligula dan aurikel. Panjang dan lebar daun, demikian juga malai dan glumennya lebih kecil. Tanaman berbunga, tetapi tidak berbiji (steril).
2. Tanaman haploid ganda (dihaploid atau diploid). Tanaman ini mempunyai morfologi seperti tanaman diploid biasa yang fertil. Populasi regeneran selanjutnya akan tetap homozigous dan homogen, tidak bersegregasi.
3. Tanaman mixopoid adalah suatu tanaman yang mempunyai bagian haploid dan diploid sekaligus. Bagian tanaman yang diploid dapat juga terjadi diantara anakan, cabang malai dan bahkan pada spikelet secara individual dari tanaman yang haploid.
4. Tanaman yang poliploid ditandai dengan pertumbuhan tanaman yang terlalu tergar (vigorous), daun yang lebih tebal, stomata yang lebih besar, dan biji yang lebih besar serta berbulu (pubescent) dengan duri (awn) yang pendek. Laju pembentukan biji rendah dan regeneran mempunyai sifat- sifat yang serupa dengan generasi tanaman pertamanya.
5. Tanamn yang aneuploid serupa denagn tanaman diploid. Pertumbuhannya tegar dengan daun yang tegak serta anakan yang lebih banyak. Ukuran glumennya sama dengan tanamn diploid atau bahkan sedikit lebih besar. Tanaman ini semi atau steril penuh. Biji cenderung mudah rontok. Laju pembentukan biji lebih rendah dari progeninya.
 Keuntungan:  teknik isolasinya lebih mudah, dapat menghasilkan tanaman dengan jumlah kromosom yang bervariasi (n, 2n dan 3n).
 Kerugian : Tanaman yang diperoleh bermacam-macam karena kemungkinan tanaman tersebut berasal dari jaringan lain seperti jaringan tapetum (3n), atau jaringan penyambung (conective tissue), sehingga masih perlu tahapan seleksi.

2. Kultur Polen
Pollen (mikrospora) merupakan sel tunggal dan haploid dari sel kelamin jantan. Pollen ini baik bila digunakan untuk diinduksi mutasi dan manipulasi genetik lain.Kultur pollen pertama kali yang berhasi pada tanaman Datura innoxia dan Nicotiana tabacum. Disausul kemudian pada tanaman Solanaceae. Pada tahun 1974, Nitsch mengembangkan kutur terapung (Floating culture) menggunakan media cair. Setelah itu pollen diletakkan di permukaan media cair selama 2-3 hari. Setelah itu pollen ditekan keluar dan media disaring dengan filter berukuran 25-100 mm tergantung dari jenis. Suspensi kemudian dicentrifuge dan dicuci dengan larutan media. Setelah dicuci disuspensikan kembali ke dalam media baru. Suspensi dipipet dan dipindahkan ke media padat dalam petri-dish.
Dalam metode ini kuncup bungan yang sudah diberi praperlakuan suhu rendah, diisolasi anthernya . Anther kemudian diapungkan dimedia cair. Beberapa hari kemudian, anther terbuka (dehiscent) dan melepaskan pollen ke dalam media.Pada kultur anther padi setelah 10 hari setelah inokulasi pada media cair, massa sel mendesak keluar dari dinding pollen. Setelah beberapa hari kalus putih mulai terlihat. Regenerasi kalus pada mulanya lebih rendah dari yang di media padat, tetapi setelah medianya diperbaiki dengan penambahan asam amino dan 20% ekstrak kentang, kemampuan regenerasi meningkat.
1. Media
Media dasar yang digunakan untuk kultur pollen Solanaceae adalah media Nitsch dengan penambahan Sukrosa 20 gram, 5 gram Myo-inosital , Glutamin 500 gram dan serin 30 mg, pH 5,8.
2. Bahan Tanam
 Pollen diambil dari kuncup bunga yang masih muda, diperiksa tingkat perkembangan androgenesi.
 Tingkat perkembangan pollen dari kuncup bunga diperiksa terlebih dahulu.
 Kuncup bunga disterilisasi seperti pada kultur anther.
 Bunga yang telah disterilisasi diberi praperlakuan suhu antara 5-10oC selama 10- hari.
 Bunga dicuci dengan aquadest steril sebelum digunakan.
 Kelopak bunga dan mahkota bunga, dibuka dengan hati-hati diisdolasi.
3. Penanaman
Anther dimasukkan ke dalam media cair dan dibiarkan terapung selama 4 hari pada temperatur 27 oC.
 Setelah 4 hari, anther ditekan ke dinding botol kultur menggunakan batang gelas steril.
 Saring media dan polen dengan filter 20 mm untuk tomat dan 40 mm untuk tembakau.
 Centrifuge dengan 500-800 rpm selama 5 menit, pelet yang diperoleh, dicuci menggunakan media baru.
 Ulangi pekerjaan tersebut sekali lagi, pelet disuspensikan ke dalam media baru dengan ukuran volume tertentu. Suspensi kultur pollen diambil setetes diperiksa kepekatan selnya dengan menggunakan haemacytometer.
o   Jumlah pollen yang berada di dalam 64 bidang dari haehacytometer dihitung jumlah pollen rata-rata / 0,25x0,25 mm bidang.
o   Konversikan ke jumlah pollen/ml. Tiap bidang 0,25x0,25 mm. Volume 6.25x10-6 ml.
o   Suspensi diencerkan hingga kerapatan pollen 103-104 /ml.
o   Suspensi pollen diambil menggunakan pipet sebanyak 5-10 ml dipindahkan pada petri-dish diameter 9 cm yang telah berisi media isolasi pollen.
o   Kultur pollen diletakkan pada rak inkubator yang diberi cahaya lemah 500 lux dengan temperatur 25oC.

Teknik di atas dimodifikasi oleh Nitsch menjadi:
o   Anther dikultur terus di dalam media cair sampai dehiscent.
o   Polen yang ditaburkan di atas media akan tumbuh, tergantung pada media dan jenis pertumbuhannya, melalui kalus atau embrio.
o   Pada kultur serealia, kalus terbentuk seteleh dipindah ke media diferensiasi.
o   Media yang digunakan untuk menanam pollen padi adalah 1500 mg/l KNO3, 100 mg/l Ca(NO3)2.4H2O, ekstrak kentang 20 % dan untuk media diferensiasi adalah media MS + 2 mg/l kinetin + 1 mg/l IAA + 3 % Sukrosa dan 0,57% agar.
Keuntungan:  *Kepastian haploid yang lebih tinggi.
  *Perkembangan androgenesis dapat diikuti.
*Studi tranformasi dan mutagenesis, baik kimia maupun fisik, mudah dilakukan karena polen terdiri dari sel tunggal.
Kerugian : Keberhasilan masih rendah.
3. Kultur bakal buah (Ovule culture)
Pada tahun 1920 telah ditemukan terjadinya partenokarpi spontan di dalam sel telur. Penemuan ini memacu para peneliti untuk mengembangkan kultur ovul pada tahun 1950-1960, akan tetapi hasilnya belum memuaskan.Pada tahun 1970-an, beberapa hasil penelitian tentanbg kultur ovul muda yang belum dibuahi, dipublikasikan, antara lain:
a. Kultur ovul Solanum melongena (Uchimiya et al, 1971 dalam Yang et al, 1986).
b. Zea mays (Uchimiya et al, 1971 dalam Yang et al,1986).
c. Gossypium hirsutum (Jenson et al, 1977).
e. Gerbera jamesomii (Sitpon, 1980; 1981).
f. Nicotiana tabacum (Ran, 1980 dalam Yang et al, 1986).
g. Helianthus annus (Yang et al, 1986).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur ovul. Sebagian faktor-faktor yang ditemukan, merupakan faktor-faktor yang juga mempengaruhi keberhasilan kultur polen; tetapi ada juga yang tidak serupa.  Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Genotipe Tanaman Donor.
Dari 19 varietas padi, terdiri dari 15 varietas japonica dan 4 varietas dari Indica. Dari kelompok japonica, frekuensi gynogenesis berkisar antara 1,1-2,8%. Frekuensi keberhasilan japonika dan Indica dalam gynogenesis ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan kemampuan androgenesis dari kelompok varietas tersebut.
b. Tingkat Perkembangan Kantong Embrio.
Tingkat perkembangan embrio yang optimal adalah pada saat akhir uninukleat sampai awal tetranukleat. Keadaan ini sukar siamati, tetapi dapat disejajarkan dengan tingkat akhir uninukleat dan awal binukleat dalam pollen.
c. Perlakuan Temperatur Rendah
Perlakuan suhu 12-13oC selama 6 hari sesudah ovari/ovul ditanam, meningkatkan frekuensi gynogenesis. Akan tetapi perlakuan temperatur rendah bukan merupakan faktor kritis.
d. Bagian-bagian Bunga.
Bagian-bagian bunga berperan dalam mengirimkan bahan-bahan nutrisi dan bahan aktif lain ke bagian ovul. Hal ini terbukti bahwa bagian-bagian bunga seperti pedicle, calyx atau glume memegang peranan penting. Inokulasi bunga utuh (dengan pistil, stamen, receptacle) menunjukkan hasil terbaik, bila stamen dibuang juga masih menunjukkan hasil yang baik, sedangkan bila hanya bagian pilstil saja yang ditanam maka tidak ada respon yang diperoleh.
e. Bentuk Fisik Media
Media cair lebih mendukung gynogenesis dalam kultur ovul dibandingkan dengan media padat. Hasil ini serupa dengan hasil yang diperoleh dalam kultur anther.
f.  Zat Pengatur Tumbuh
Untuk kultur ovul padi
Media induksi :
Media dasar + 0,125-0,5 mg/l MCPA (2-methyl-4-chlorophenoxy acetid acid + 0,125-0,5 mg/l Picloram (4-amino-3,5,6-tricloropicolinic acid + 3-6% sukrosa.
Media diferensiasi:
Media dasar + 2 mg/l kinetin + 0,5 mg/l IAA atau + 0,25 mg/l NAA + 3-6%.
Media perakaran:
Media dasar + 0,5 mg/l IAA + 1,5% sukrosa + 0,1% arang aktif.


Daftar Pustaka

Rabu, 18 Januari 2012

PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME

PENERAPAN PENDEKATAN KONSTEKTUAL DENGAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME MERUPAKAN SALAH SATU CARA DALAM MEMBINA MENGORGANISASIKAN PENGETAHUAN DAN PENGALAMAN SISWA MELALUI  ASIMILASI DAN AKOMODASI
Suwanto


Abstrak
Kemampuan guru dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan pendidikan secara keseluruhan. Kualitas pembelajaran diantaranya bergantung pada kemampuan guru, terutama dalam memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik secara efektif dan efisien. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) atau yang sering disingkat CTL merupakan salah satu strategi belajar yang diharapkan mampu mengefektifkan proses belajar mengajar dimana pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan hanya transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Sehingga pada akhirnya pembelajaran diharapkan dapat lebih bermakna bagi siswa. Salah satu strategi pembelajaran pada pendekatan Kontektual yang mengarahkan  siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya adalah Strategi Pembelajaran Kontruktivisme.
Permasalahan utama yang dikaji dalam artikel ini adalah ; Bagaimana pandangan teori belajar Kontruktivisme terhadap pengetahuan dasar yang dimiliki siswa.
Artikel ini menyimpulkan dari beberapa teori tentang Strategi pembelajaran Kontruktivisme. Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa ; (1) bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
(2)Ada 5 Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis; (a)Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa. (b)Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna(c)Adanya lingkungan sosial yang kondusif(d)Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri(e)Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah

Kata Kunci ; Pembelajaran Kontruktivisme , Pendekatan Kontektual, Asimilasi, Akomodasi
A.    LATAR BELAKANG
Selama ini kita menyadari bahwa kelas-kelas kita tidak produktif. Sehari-hari kelas hanya diisi  dengan ceramah, sementara siswa dipaksa menerima dan menghafal materi pelajaran yang diberikan.
Dengan pendekatan kontekstual (CTL) yang mengutamakan strategi belajar daripada hasil, siswa  diharapkan belajar melalui ‘mengalami’ dengan mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya dan  menerapkan pada situasi dunia nyata siswa, dapat mengubah anggapan kelas yang kurang produktif  menjadi kelas yang aktif dengan pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning).
Proses pembelajaran di kelas menjadi aktif dan kreatif, karena siswa membangun sendiri  pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif di kelas, jadi siswa menjadi pusat kegiatan bukan  guru. Kegiatan inquiry dan bertanya merupakan salah satu strategi dalam model pembelajaran  kontekstual atau CTL  untuk menggali sifat ingin tahu siswa. Selain itu keberadaan masyarakat  belajar menjadi nilai plus dalam pembelajaran karena siswa tidak belajar sendiri tetapi saling  bekerja sama (belajar dengan kelompok-kelompok) agar pengetahuan dan  pemahaman lebih mendalam.
Sehingga menimbulkan kegairahan belajar siswa karena adanya kebersamaan dalam memecahkan masalah,  siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang lemah.
Kemudian adanya pemodelan sebagai contoh pembelajaran dapat meningkatkan semangat siswa untuk  mencoba meniru seperti apa yang telah dilihatnya, dengan demikian siswa tidak mengalami kesulitan  dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam pendekatan kontekstual refleksi merupakan peranan  penting, yaitu siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru  yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Dengan begitu, siswa merasa  memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru saja dipelajarinya.
Yang terakhir, adanya authentic assessment untuk menilai kemampuan yang dimiliki siswa tidak  hanya dari hasil ulangan tetapi dari kegiatan yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran di  kelas.
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Pembelajarn kontekstual (Contextual Teaching and learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan ( Inquiri), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan penilaian sebenarnya (Authentic Assessment)

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas, maka masalah utama pada artikel ini adalah “Bagaimana pandangan teori belajar Kontruktivisme terhadap pengetahuan dasar yang dimiliki siswa”.

C.    PEMBAHASAN
C.1. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.


C.2. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

C.3. Lima Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis

Berdasarkan hasil analisisnya terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan seharihari, dan juga penerapan konsep.
3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.

D.    Kesimpulan
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
Ada 5 Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis;
1.      Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
2.      Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
3.      Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
4.      Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
5.      Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah


Daftar Pustaka


Ari Widodo. (tt). Konstruktivisme dan Pembelajaran Sains (Makalah)
Dr. Hamzah, M.Ed. Teori Belajar Konstruktivisme ( Makalah )
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/29/pembelajaran-kontekstual/