Berita Terkini

Selasa, 07 Februari 2012

KULTUR HAPLOID

KULTUR  HAPLOID
Suwanto

A.    Pendahuluan
Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap. Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbayakan tanaman dengan menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang dilakukan di tempat steril. 
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga  tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.  Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon.  Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain.  Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan.  Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.  Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.
Kultur jaringan (tissue culture) sampai saat ini digunakan sebagai suatu istilah umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya tembus cahaya. Sering kali kultur aseptik disebut juga kultur in vitro yang artinya sebenarnya adalah kultur di dalam gelas.
 Dalam pelaksanaannya dijumpai beberapa tipe-tipe kultur, yakni:
1. Kultur biji (seed culture), kultur yang bahan tanamnya menggunakan biji atau seedling.
2. Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya menggunakan organ, seperti: ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian daun, bunga, buah muda, inflorescentia, buku batang, akar dll.
3. Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang menggunakan jaringan (sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai bahan eksplannya.
4. Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang menggunakan media cair dengan pengocokan yang terus menerus menggunakan shaker dan menggunakan sel atau agregat sel sebagai bahan eksplannya, biasanya eksplan yang digunakan berupa kalus atau jaringan meristem.
5. Kultur protoplasma. eksplan yang digunakan adalah sel yang telah dilepas bagian dinding selnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas diletakkan pada media padat dibiarkan agar membelah diri dan membentuk dinding selnya kembali. Kultur protoplas biasanya untuk keperluan hibridisasi somatik atau fusi sel soma (fusi 2 protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik).
6. Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni: kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid.

B.     Kultur Haploid pada Tumbuhan
Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman, yakni: kepalasari/ anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/ pollen (kutur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman haploid.
Pada pemuliaan konvensional, 2 galur tetua disilangkan untuk memperoleh tanaman hibrida F1. Dua set kromosom pada tanaman F1 bersegregasi acak pada generasi – generasi selanjutnya, untuk berbagai sifat agronomis. Pemulia tanaman harus menyeleksi gallur yang diinginkan dan menanamnya untuk sedikitnya 8 – 10 generasi, dengan seleksi yang kontinyu, sampai 2 set kromosom pada galur yang disilangkan menjadi identik (homozygous).
Tanaman haploid adalah tanaman yang mempunyai jumlah kromosom sama dengan gametofitik dalam sporofitik (Bajaj, 1983). Frekuensi terjadinya haploid spontan di alam masih sangat rendah , yakni sekitar 0,001-0,01%. Produksi haploid yang spontan biasanya terjadi melalui proses partenokarpi dari telur yang tidak dibuahi atau apomiksis.
Dalam percobaan-percobaan terdahulu (sebelum tahun), haploid diperoleh melalui:
1. Hibridisasi jenis tanaman yang berada (distant hybridization).
2. Polinasi tertunda (delayed pollination).
3. Penggunaan polen yang sudah di-radiasi.
4. Perlakuan hormon.
5. Shock dengan temperatur tinggi.
Revolusi dalam produksi tanaman haploid terjadi pada tahun 1064-1966, semenjak dihasilkannya tanaman haploid dari Datura innoxia oleh Guha dan Maheswari. Tanaman dihasilkan melalui kultur anther dengan proses androgenesis. Haploid pada tanaman dapat digolongkan menjadi 2 golongan yaitu:
1. Monoploid : jumlah khromosom setengah dari kromosom spesies yang diploid.
2. Polihaploid: jumlah kromosom setengah dari kromosom spesies yang poliploid.

Kegunaan haploid dalam pemuliaan tanaman:
1. Tanaman haploid dapat digunakan untuk mandeteksi mutasi dan rekombian yang unik.
Mutasi yang resesif tidak muncul dalam keadaan diploid. Contohnya pollen dari hibrida antara MC-160 dan Coker-139 yang ditumbuhkan dihasilkan lini-lini tanaman baru yang menunjukkan resistensi terhadap penyakit layu bakteri dan Black Shank yang lebih tinggi. Lini baru ini tidak kehilangan sifat unggul MC-1610 (Gunawan, 1988).

2. Penggandaan jumlah kromosom akan diperoleh tanaman homozigot.
Tanaman homozigot sangat penting untuk menghasilkan hibrida terkendali, seperti tanaman Asparagus. Tanaman Asparagus officinale merupakan tanaman dioeceous yang menghasilkan bungan betinan dan bunga jantan pada tanaman yang berlainan. Tnaman jantan lebih disukai konsumen karena produksi eebungnya lebih tinggi dan kualitasnya lebih baik. Usaha penyilangan ditujukan untuk menghasilkan biji yang menjadi tanaman jantan (XY). Hibrida XY diperoleh dengan menyilangkan tanaman jantan XY dengan betina XX dengan hasil XY: 50%. Melalui kultur anther, diperoleh tanaman XY, yang disebut super male. Penyilangan super male YY dengan betina XX, akan menghasilkan progeni yang 100%.

C.     Produksi Kultur Haploid pada in vitro
Teknik mendapatkan tanaman haploid secara in vitro
1. Kutur anther
Keberhasilan kultur anther telah diujudkan pada tanaman seperti Datura innoxia, nicotiana tabacum, karet, poplar, anggur, tanaman Gramineae serta pada tanaman angrek. Teknik kultur anther relatif sederhana dan efisien yang paling penting adalah kritis dalam penentuan tingkat perkembangan pollen (androgenesis) yang tepat pada anther yang akan dijadikan eksplan.
Secara praktis tingkat perkembangan pollen dapat ditentukan berdasarkan pengambilan contoh beberapa tingkat perkembangan kuncup bunga. Tingkat perkembangan androgenesis pollen uninucleat paling sesuai bila digunakan sebagai eksplan.
Media dasar yang digunakan untuk tanaman dikotil, umumnya adalah media MS, media White dan media Nitsch &Nitsch, dengan berbagai modifikasi dengan penambahan sukrosa sekitar 20-40 gram/liter. Zat Pengatur Tumbuh diberikan dalam konsentrasi serendah mungkin untuk menghindari terbentuknya kalus dari jaringan-jaringan diploid yang tidak diinginkan. Untuk mendapatkan double haploid dipergunakan larutan colchicine: 0,5% dengan waktu perendaman 24-28 jam.
Tanaman monokotil terutama tanaman Gramineae seperti padi, media MS juga dapat digunakan. Tetapi selain MS, dikembangkan juga beberapa media lain misalnya media N6. Media N6 mempunyai ciri perbandingan NH4+ dan NO3_ yang jauh perbedaannya. Ammonium yang diberikan dalam bentuk (NH4)2SO4 hanya sebanyak 363 mg/l, sedangkan KNO3 : 2830 mg/l. Khusus untuk padi, ada beberapa media lain yang dikembangkan di Cina, sesuai dengan kultivar padinya, misalnya media SK3, He5 dan LB.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan produksi haploid melaui kultur in vitro adalah:
1. Tingkat Perkembangan
Pollen pada tanaman padi, frekuensi pembentukan kalus yang tertinggi diperoleh pada kultur anther dengan pollen yang nukleusnya terletak di pinggir sel (mid-uninucleate microspore stage). Pembentukan terbentuknya kalus pada berbagai stage adalah sebagai berikut:
 5.6% kultur membentuk kalus pada early-uninucleate stage, yaitu sesudah tetrad terbentuk.
 35,7% kultur membentuk kalus pada mid-uninucleate stage.
 10.5% pada saat late-uninucleate stage.
 6.7% pada saat mitosis pertama dari pollen.
 0% pada saat polen mencapai bi-nucleat stage.

2. Perlakuan fisik sebelum inokulasi
Perlakuan temperatur rendah sebelum inokulasi, meningkatkan keberhasilan kultur anther dalam: Nicotiana tabacum, Datura innoxia, Hyosciamus niger, Hordeum vulgare dan Oryza sativa. Pada umumnya, temperatur antara 3-10oC. Bila dipergunakan temperatur rendah 3-5oC, maka waktu perlakuan dapat dipersingkat, sedangkan pada terperatur rendah 10-15 oC, waktu perlakuan lebih panjang. Percobaan Wang dan grupnya (Chen, 1986) dalam kultur padi hsien menunjukkan:
 Bila temperatur 3-5 oC, dibutuhkan 10 hari.
 Bila temperatur 6-8 oC, dibutuhkan 15 hari.
 Bila temperatur 9-10 oC, dibutuhkan 20 hari.

3. Perlakuan kimia sebelum inokulasi
Anther yang dikultur dalam media cair yang ditambah dengan 50-250 mg/l colchisine selama 4 hari, meningkatkan frekuensi pembentukkan kalus dan diferensiasi. Colchicine dapat meningkatkan tanaman double haploid hingga 79%, sedangkan anher tanpa perlakuan pendahuluan, hanya menghasilkan 53,8% tanaman. Jika konsentrasi colchicine ditingkatkan hingga 500 mg/l akan mengakibatkan frekuesi tanaman anakan yang abnormal seperti albino akan meningkat. Selain senyawa tersebut senyawa ethrel juga sering digunakan untuk praperlakuan pada media cair + 5 g/l ethrel (Gunawan, 1988).

4. Media tumbuh
Komposisi media dasar tidak begitu kritis, namun dalam kultur anther, NH4+ yang tinggi (35mM) akan menghambat pembentukan kalus.
 Sukrosa yang diberikan, berkisar 2-12%. Pada serealia digunakan 6-9%, sedangkan pada tanaman diploid 2-4%.
 Zat Pengatur Tumbuh pada kultur anther Solanaceae tidak diperlukan cukup media dasar N6. ZPT yang biasa digunakan untuk memacu pertumbuhan embriogenesis pada kultur anther adalah senyawa TIBA (Tri iodobenzoic acid). Disamping itu penambahan 2 mg/l 2,4D pada media dasar digunakan untuk kultur anther padi, dan kombinasi ZPT: 4 mg/l NAA + 1 mg/l 2,4D dan 1-3 mg/l kinetin sering ditambahkan pada media dasar untuk kultur anther.
 Penambahan bahan-bahan organik seperti: ekstrak pisang, air kelapa, ensdosperm serealia, ekstrak ragi, alanin, folic acid dan Co-enzym A, dapat memacu pertumbuhan pada kultur anther.
 Penambahan 2% arangaktif dapat memperbaiki androgenesis.


5. Genotipe tanaman donor
Tidak semua kultuvar dari setiap tanaman organ anthernya dapat menghasilkan tanaman haploid, seperti kultivar dari Lycopersicon esculentum dari 43 kultivar hanya 3 kultivar saja yang anthernya dapat ditumbuhkan. Triticum aestivum hanya 10 kukltivar saja yang anthernya dapat ditumbuhkan menjadi tanaman haploid dari 21 kultivar yang ada.

6. Kondisi Tanaman Donor
Umur fisiologi tananam donor ternyata dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman enther. Bunga dari tanaman muda pada saat permulaan pembungaan, ternyata lebih baik dari pada bunga yang keluar kemudian.
 Kondisi nutrisi tanaman donor: tembakau yang diberikan perlakuan larutan Hoagland selama 2 minggu, mempunyai bunga dengan vigor yang lebih baik.
Temperatur waktu menumbuhkan tanaman donor. Contohnya pada tanaman Datura, tanaman donor yang ditumbuhkan pada suhu 24oC frekuensi terjadinya androgenesis sebesar 45% dan bila tanaman donor ditumbuhkan pada temperatur 17 oC, frekuensi tumbuhnya turun menjadi 8%.
Cahaya selama pertumbuhan tanaman donor. Triticum aestivum yang ditumbuhkan di lapangan dengan cahaya yang penuh, menghasilkan kultur anther yang lebih baik dari tanaman yang ditumbuhkan di rumah kaca pada musim dingin dengan penyinaran yang kurang.
Tanaman yang dihasilkan melalui kultur antera dapat berupa tanaman haploid, haploid ganda spontan, poliploid, mixopoid, dan aneuploid. Perbedaan morfologi tanaman haploid, haploid ganda (spontaneous doubled haploid), poliploid, mixopoid dan aneuploid menurut Zhang (1992) adalah sebagai berikut:
1. Tanaman haploid. Dibandingkan dengan tanaman diploid, pada umumnya tanaman haploid lebih kecil dan mempunyai banyak anakan serta tidakmempunyai ligula dan aurikel. Panjang dan lebar daun, demikian juga malai dan glumennya lebih kecil. Tanaman berbunga, tetapi tidak berbiji (steril).
2. Tanaman haploid ganda (dihaploid atau diploid). Tanaman ini mempunyai morfologi seperti tanaman diploid biasa yang fertil. Populasi regeneran selanjutnya akan tetap homozigous dan homogen, tidak bersegregasi.
3. Tanaman mixopoid adalah suatu tanaman yang mempunyai bagian haploid dan diploid sekaligus. Bagian tanaman yang diploid dapat juga terjadi diantara anakan, cabang malai dan bahkan pada spikelet secara individual dari tanaman yang haploid.
4. Tanaman yang poliploid ditandai dengan pertumbuhan tanaman yang terlalu tergar (vigorous), daun yang lebih tebal, stomata yang lebih besar, dan biji yang lebih besar serta berbulu (pubescent) dengan duri (awn) yang pendek. Laju pembentukan biji rendah dan regeneran mempunyai sifat- sifat yang serupa dengan generasi tanaman pertamanya.
5. Tanamn yang aneuploid serupa denagn tanaman diploid. Pertumbuhannya tegar dengan daun yang tegak serta anakan yang lebih banyak. Ukuran glumennya sama dengan tanamn diploid atau bahkan sedikit lebih besar. Tanaman ini semi atau steril penuh. Biji cenderung mudah rontok. Laju pembentukan biji lebih rendah dari progeninya.
 Keuntungan:  teknik isolasinya lebih mudah, dapat menghasilkan tanaman dengan jumlah kromosom yang bervariasi (n, 2n dan 3n).
 Kerugian : Tanaman yang diperoleh bermacam-macam karena kemungkinan tanaman tersebut berasal dari jaringan lain seperti jaringan tapetum (3n), atau jaringan penyambung (conective tissue), sehingga masih perlu tahapan seleksi.

2. Kultur Polen
Pollen (mikrospora) merupakan sel tunggal dan haploid dari sel kelamin jantan. Pollen ini baik bila digunakan untuk diinduksi mutasi dan manipulasi genetik lain.Kultur pollen pertama kali yang berhasi pada tanaman Datura innoxia dan Nicotiana tabacum. Disausul kemudian pada tanaman Solanaceae. Pada tahun 1974, Nitsch mengembangkan kutur terapung (Floating culture) menggunakan media cair. Setelah itu pollen diletakkan di permukaan media cair selama 2-3 hari. Setelah itu pollen ditekan keluar dan media disaring dengan filter berukuran 25-100 mm tergantung dari jenis. Suspensi kemudian dicentrifuge dan dicuci dengan larutan media. Setelah dicuci disuspensikan kembali ke dalam media baru. Suspensi dipipet dan dipindahkan ke media padat dalam petri-dish.
Dalam metode ini kuncup bungan yang sudah diberi praperlakuan suhu rendah, diisolasi anthernya . Anther kemudian diapungkan dimedia cair. Beberapa hari kemudian, anther terbuka (dehiscent) dan melepaskan pollen ke dalam media.Pada kultur anther padi setelah 10 hari setelah inokulasi pada media cair, massa sel mendesak keluar dari dinding pollen. Setelah beberapa hari kalus putih mulai terlihat. Regenerasi kalus pada mulanya lebih rendah dari yang di media padat, tetapi setelah medianya diperbaiki dengan penambahan asam amino dan 20% ekstrak kentang, kemampuan regenerasi meningkat.
1. Media
Media dasar yang digunakan untuk kultur pollen Solanaceae adalah media Nitsch dengan penambahan Sukrosa 20 gram, 5 gram Myo-inosital , Glutamin 500 gram dan serin 30 mg, pH 5,8.
2. Bahan Tanam
 Pollen diambil dari kuncup bunga yang masih muda, diperiksa tingkat perkembangan androgenesi.
 Tingkat perkembangan pollen dari kuncup bunga diperiksa terlebih dahulu.
 Kuncup bunga disterilisasi seperti pada kultur anther.
 Bunga yang telah disterilisasi diberi praperlakuan suhu antara 5-10oC selama 10- hari.
 Bunga dicuci dengan aquadest steril sebelum digunakan.
 Kelopak bunga dan mahkota bunga, dibuka dengan hati-hati diisdolasi.
3. Penanaman
Anther dimasukkan ke dalam media cair dan dibiarkan terapung selama 4 hari pada temperatur 27 oC.
 Setelah 4 hari, anther ditekan ke dinding botol kultur menggunakan batang gelas steril.
 Saring media dan polen dengan filter 20 mm untuk tomat dan 40 mm untuk tembakau.
 Centrifuge dengan 500-800 rpm selama 5 menit, pelet yang diperoleh, dicuci menggunakan media baru.
 Ulangi pekerjaan tersebut sekali lagi, pelet disuspensikan ke dalam media baru dengan ukuran volume tertentu. Suspensi kultur pollen diambil setetes diperiksa kepekatan selnya dengan menggunakan haemacytometer.
o   Jumlah pollen yang berada di dalam 64 bidang dari haehacytometer dihitung jumlah pollen rata-rata / 0,25x0,25 mm bidang.
o   Konversikan ke jumlah pollen/ml. Tiap bidang 0,25x0,25 mm. Volume 6.25x10-6 ml.
o   Suspensi diencerkan hingga kerapatan pollen 103-104 /ml.
o   Suspensi pollen diambil menggunakan pipet sebanyak 5-10 ml dipindahkan pada petri-dish diameter 9 cm yang telah berisi media isolasi pollen.
o   Kultur pollen diletakkan pada rak inkubator yang diberi cahaya lemah 500 lux dengan temperatur 25oC.

Teknik di atas dimodifikasi oleh Nitsch menjadi:
o   Anther dikultur terus di dalam media cair sampai dehiscent.
o   Polen yang ditaburkan di atas media akan tumbuh, tergantung pada media dan jenis pertumbuhannya, melalui kalus atau embrio.
o   Pada kultur serealia, kalus terbentuk seteleh dipindah ke media diferensiasi.
o   Media yang digunakan untuk menanam pollen padi adalah 1500 mg/l KNO3, 100 mg/l Ca(NO3)2.4H2O, ekstrak kentang 20 % dan untuk media diferensiasi adalah media MS + 2 mg/l kinetin + 1 mg/l IAA + 3 % Sukrosa dan 0,57% agar.
Keuntungan:  *Kepastian haploid yang lebih tinggi.
  *Perkembangan androgenesis dapat diikuti.
*Studi tranformasi dan mutagenesis, baik kimia maupun fisik, mudah dilakukan karena polen terdiri dari sel tunggal.
Kerugian : Keberhasilan masih rendah.
3. Kultur bakal buah (Ovule culture)
Pada tahun 1920 telah ditemukan terjadinya partenokarpi spontan di dalam sel telur. Penemuan ini memacu para peneliti untuk mengembangkan kultur ovul pada tahun 1950-1960, akan tetapi hasilnya belum memuaskan.Pada tahun 1970-an, beberapa hasil penelitian tentanbg kultur ovul muda yang belum dibuahi, dipublikasikan, antara lain:
a. Kultur ovul Solanum melongena (Uchimiya et al, 1971 dalam Yang et al, 1986).
b. Zea mays (Uchimiya et al, 1971 dalam Yang et al,1986).
c. Gossypium hirsutum (Jenson et al, 1977).
e. Gerbera jamesomii (Sitpon, 1980; 1981).
f. Nicotiana tabacum (Ran, 1980 dalam Yang et al, 1986).
g. Helianthus annus (Yang et al, 1986).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur ovul. Sebagian faktor-faktor yang ditemukan, merupakan faktor-faktor yang juga mempengaruhi keberhasilan kultur polen; tetapi ada juga yang tidak serupa.  Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Genotipe Tanaman Donor.
Dari 19 varietas padi, terdiri dari 15 varietas japonica dan 4 varietas dari Indica. Dari kelompok japonica, frekuensi gynogenesis berkisar antara 1,1-2,8%. Frekuensi keberhasilan japonika dan Indica dalam gynogenesis ini menunjukkan kecenderungan yang sama dengan kemampuan androgenesis dari kelompok varietas tersebut.
b. Tingkat Perkembangan Kantong Embrio.
Tingkat perkembangan embrio yang optimal adalah pada saat akhir uninukleat sampai awal tetranukleat. Keadaan ini sukar siamati, tetapi dapat disejajarkan dengan tingkat akhir uninukleat dan awal binukleat dalam pollen.
c. Perlakuan Temperatur Rendah
Perlakuan suhu 12-13oC selama 6 hari sesudah ovari/ovul ditanam, meningkatkan frekuensi gynogenesis. Akan tetapi perlakuan temperatur rendah bukan merupakan faktor kritis.
d. Bagian-bagian Bunga.
Bagian-bagian bunga berperan dalam mengirimkan bahan-bahan nutrisi dan bahan aktif lain ke bagian ovul. Hal ini terbukti bahwa bagian-bagian bunga seperti pedicle, calyx atau glume memegang peranan penting. Inokulasi bunga utuh (dengan pistil, stamen, receptacle) menunjukkan hasil terbaik, bila stamen dibuang juga masih menunjukkan hasil yang baik, sedangkan bila hanya bagian pilstil saja yang ditanam maka tidak ada respon yang diperoleh.
e. Bentuk Fisik Media
Media cair lebih mendukung gynogenesis dalam kultur ovul dibandingkan dengan media padat. Hasil ini serupa dengan hasil yang diperoleh dalam kultur anther.
f.  Zat Pengatur Tumbuh
Untuk kultur ovul padi
Media induksi :
Media dasar + 0,125-0,5 mg/l MCPA (2-methyl-4-chlorophenoxy acetid acid + 0,125-0,5 mg/l Picloram (4-amino-3,5,6-tricloropicolinic acid + 3-6% sukrosa.
Media diferensiasi:
Media dasar + 2 mg/l kinetin + 0,5 mg/l IAA atau + 0,25 mg/l NAA + 3-6%.
Media perakaran:
Media dasar + 0,5 mg/l IAA + 1,5% sukrosa + 0,1% arang aktif.


Daftar Pustaka

4 komentar:

  1. terima kasih pak :)
    sangat membantu...

    BalasHapus
  2. Apakah sama antara kultur anther dengan kultur mikrospora?

    BalasHapus
  3. Apakah sama antara kultur anther dengan kultur mikrospora?

    BalasHapus
  4. terima kasih atas infonya pak

    BalasHapus